PADANG, - Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) secara luas kepada publik, bahwa penyaluran Bahan Bakar Minyak bersubsidi (BBM subsidi) jenis Solar dan Pertalite hingga 20 juni 2022, telah tersalurkan lebih dari 50 persen dari kuota yang disediakan oleh pemerintah.
Rincian kuota Tahun 2022 yang dimaksud, yaitu solar ditetapkan sejumlah 15, 8 juta kilo liter (KL), minyak tanah sejumlah 0, 48 juta KL, dan Pertalite sejumlah 23, 05 juta KL. Total kuota BBM subsidi berarti sejumlah 39, 33 juta KL, dengan alokasi terbesar adalah jenis BBM Pertalite dan Solar, yaitu masing-masing 58, 6 persen dan 40, 2 persen.
Dan, mengacu data BPH Migas tersebut, maka besaran realisasi untuk Solar telah mencapai 51, 24 persen atau telah dikonsumsi sejumlah 7, 73 juta KL.
Data ini sekaligus menunjukkan konsumsi rerata BBM subsidi jenis solar per bulan mencapai 1.28 juta KL.
Apabila realisasi BBM jenis solar ini relatif konstan sampai dengan akhir tahun buku, Desember 2022, maka konsumsinya akan mencapai 15, 46 juta KL atau berlebih dari kuota (over quota) yang ditetapkan sejumlah 0, 36 juta KL.
Artinya, kuota BBM bersubsidi jenis solar ini akan bermasalah atau mulai mengalami kelangkaan dibulan Oktober atau Nopember 2022.
Termasuk juga akan terjadi permasalahan yang sama pada Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) yaitu Pertalite, yangmana konsumsinya sampai dengan tanggal 20 Juni 2022 telah mencapai 57, 54 persen atau sejumlah 13, 26 juta KL.
Hitungan konsumsi rata-rata per bulan oleh penerima alokasi subsidi BBM ini mencapai 2, 21 juta KL. Jika mengambil asumsi konsumsi yang sama dengan pemakaian solar pada penjelasan sebelumnya, maka sampai 6 bulan ke depan atau tepatnya dibulan Desember 2022 konsumsinya akan mencapai 26, 52 juta KL atau melewati batas kuota yang telah ditetapkan sejumlah 3, 47 juta KL. Permasalahan atau kelangkaan jenis BBM ini juga kemungkinan besar juga akan terjadi sekitar bulan Oktober atau Nopember 2022.
Pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina melalui sub holding nya PT. Pertamina Patra Niaga/PPN (C&T) memang telah melakukan pengendalian konsumsi BBM subsidi itu melalui kartu aplikasi MyPertamina.
Diharapkan dengan kartu aplikasi MyPertamina tersebut pemerintah dapat menjaga pasokan BBM subsidi melalui pembatasan.
Namun, jika mengacu pada kalkulasi konsumsi yang konstan selama 6 bulan terakhir, maka dapat dipastikan akan terjadi kelebihan atas kuota yang ditetapkan atau over kuota BBM subsidi.
Kelebihan pemakaian kuota BBM bersubsidi ini jelas menunjukkan semakin meningkatnya konsumsi masyarakat dan atau industri.
Pengendalian yang dilakukan oleh PT. Pertamina Patra Niaga terhadap konsumsi BBM bersubsidi ini tidak akan efektif jika otoritas berwenang lainnya tidak terlibat aktif melakukan tugas pokok dan fungsinya.
Selain itu, muncul juga pertanyaan oleh publik, diantaranya yaitu apakah penyelesaian atau solusi yang akan ditempuh oleh pemerintah atau siapa yang bertanggungjawab atas kalkulasi yang tidak tepat ini? Akankah pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Keuangan akan melakukan penambahan kuota BBM subsidi yang telah melebihi penetapan awal, yang berarti juga menunjukkan lemahnya kinerja perencanaan pemerintah?
Persoalan lainnya yang mengganjal dan bisa jadi merupakan pertanyaan publik, yaitu menyangkut subtansi dari pengertian frasa kuota dan subsidi yang digunakan secara tidak tepat. Sebabnya, apabila konsumsi BBM ini ditujukan kepada kelompok masyarakat miskin, maka sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) per bulan Maret 2022 jumlahnya hanya mencapai 26, 16 juta dengan garis kemiskinan penduduk Indonesia sebesar Rp505.469 per kapita per bulan.
Benarkah kelompok ini yang menikmati alokasi BBM subsidi yang menggunakan terminologi kuota yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki pengertian *jatah*. Tepatkah pengertian jatah ini dilekatkan pada alokasi untuk anggaran BBM jenis bersubsidi, sementara yang mengkonsumsi mampu membeli kendaraan bermotor roda empat atau lebih?